Selamat Datang Di Blog Iyan Al-Balangi.Terima kasih telah berkunjung.

Label

Wednesday, December 7, 2011

Metodologi Studi Islam

METODOLOGI STUDI ISLAM
Nama : Yansyah
NIM  : 0701248233
Dosen: Suhrawardi, M.Ag

PEMIKIRAN ISLAM
A.    Definisi
Pemikiran secara etimologi memiliki arti proses, cara, perbuatan memikir. Sedangkan secara terminology, pemikiran berarti mencakup proses dan hasilnya sekaligus. Kemudian karena diikuti oleh kata Islam maka pemikiran Islam dapat diartikan sebagai sebagai kegiatan mental ataupun hasilnya yang berdasarkan kepada prinsip-prinsip islam. Adapun pengertian menurut para sarjana muslim antara lain seperti:
Ø  Menurut Ali Syaikh definisi pemikiran islam, yaitu usaha akal dan hasil berpikir muslim dalam bingkai memberi kontribusi terhadap islam.
Ø  Menurut Muhammad Husain Abdullah terhadap pemikiran islam, yaitu al-hukmu 'ala-l-wâqi' min wijhati nazhari al-Islam (menjawab realitas dari perspektif islam).
Dari dua definisi di atas maka dapat kita tarik benang merah bahwa pemikiran Islam adalah pemikiran yang berdasarkan kepada prinsip islam dan menjadikan islam sebagai objeknya dalam menjawab realitas zaman. Sumber prinsip dalam Islam adalah Al-Qur’an karena itu Al-Qur’an merupakan asas pertama yang menjadi inspirasi dan pusat perhatian aliran-aliran dan pemikiran-pemikiran islam.

B.     Perkembangan Pemikiran Islam (Tradisional, Modern, dan Kontemporer)
Secara umum bentuk pemikiran Islam bisa dibagi dalam tiga: tradisional, modern, dan kontemporer. Pemikiran tradisional Islam yang lahir dari “rahim” sejarah yang pertama bercorak nalar-dialektik (jadali) yang diwakili teologi Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, Mu`tazilah, Asy`ariyah, Maturidiyah, Sunni, Ikhwan al-Shafa, Muwahidiyah, Murabithun, dan lainnya. Mereka umumnya mempersoalkan tentang ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah, khalifah, makhluk tidaknya Al-Quran, eksistensi Tuhan, dan perbuatan-perbuatan manusia. Kedua adalah yang bercorak nalar-demonstratif (burhani) yang diwakili para filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan lainnya. Tema yang dibahasnya adalah Tuhan, alam, manusia, nubuwwah, peranan akal dan hati, politik, ekonomi, estetika, etika, dan lainya. Ketiga adalah yang bercorak nalar-intuitif (irfani) yang diwakili oleh para sufi seperti Ibnu Arabi, Suhrawardi Al-Maqtul, Abdul Karim Al-Jilli, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Mansur Al-Hallaj, Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Yusuf Al-Maqasari, Hasan Mustapa, dan lainnya. Tema yang dibahasnya menyangkut jalan atau cara menuju Tuhan, kesatuan eksistensi antara manusia dan Tuhan, mengungkap kebenaran (mukasyafah), tujuan hidup, sikap dan perilaku ibadah yang hakiki, masalah kebangkitan di akhirat, dan lainnya. Corak keempat yang bisa dianggap puncak dari pemikiran Islam (abad klasik dan pertengahan) adalah teosofi (hikmah) yang menggabungkan sumber dan metode (nalar intelektual) sebelumnya, yang biasanya disebut hikmah muta`aliyah. Pemikiran ini dicetuskan oleh Mulla Shadra dan dikembangkan oleh Mulla Muhsin Faidh Al-Kasyani, Syaikh Abdurrazak Lahiji, Mulla Sabziwari, Allamah Muhammad Husein Thabathabai`, Ayatullah Ruhullah Musawwi Khomeini, Ayatullah Murtadha Muthahhari, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, dan Mehdi Haeri Yazdi. Selain mengkritik pemikiran-pemikiran Islam sebelumnya, mereka juga membahas persoalan baru dari filsafat dan realitas sosial, seperti eksistensialisme, integrasi (ilmu), ekologi, politik, wacana universalitas, dialog antaragama, masa depan manusia, dan lainnya. 
Bentuk pemikiran Islam modern dapat dilacak dari awal abad modern yang ditandai dengan munculnya gerakan pembaruan Islam (tajdiyah). Pemikiran Islam modern ini dibagi dalam dua model: ekstrem dan progres. Untuk gerakan tajdiyah ekstrem dapat dilihat dari gerakan kaum revivalis Islam pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, Fulaniyah di Afrika Barat, dan lainnya. Melalui pemikiran-pemikirannya, mereka yang termasuk kaum Muslim revivalis ini berupaya memurnikan ajaran Islam dari tradisi-tradisi dan ajaran yang bukan berasal dari Islam, khususnya tradisi keagamaan masyarakat lokal dan praktik-praktik ibadah kaum sufi yang dinilainya sebagai bid`ah dan menjerumuskan umat Islam dalam kemusyrikan. 
Dengan semangat tauhidullah, mereka berupaya mengembalikan pemahaman Islam kepada sumbernya: Al-Quran dan Sunnah. Dalam gerakannya mereka sampai melakukan tindakan yang keras, radikal, dengan menghancurkan pusara dan makam para wali, bahkan menganggap sesat pada yang berbeda pemahaman agama. Sehingga kehadirannya mendapat perlawanan dari umat Islam sendiri, bahkan tak jarang terjadi konflik fisik. Dengan slogan kembali ke Al-Quran dan Sunnah, mereka menginginkan Islam kembali ke zaman Nabi Muhammad saw yang dinilainya lebih otentik. Untuk memuluskan gerakannya itu Muhammad bin Abdul Wahab beserta pengikutnya bergabung dengan Abdul Azis bin Sa’ud mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada 1924, sehingga Wahabiyah menjadi mazhab resmi Arab Saudi hingga sekarang. Gerakan tajdiyah ekstrem ini berpengaruh ke Indonesia dalam melahirkan organisasi keagamaan Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Sedangkan pemikiran tajdiyah progres dapat dilihat dari muncul kaum modernis Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Ali Syari`ati, Imam Khomeini, Muhammad Natsir, dan lainnya. Kaum modernis ini masih juga berada dalam semangat pembaruan, tapi lebih mengutamakan pada rasionalisasi agama, mengembangkan pendidikan modern, merealisasikan nilai-nilai Islam yang humanis, dan berorientasi ke masa depan. 
Adapun pemikiran Islam kontemporer diwakili oleh para cendekiawan Muslim yang melakukan sintesis progresif dari pemikiran rasional-modern dengan tradisi khazanah pemikiran Islam tradisional. Contohnya adalah Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Farid Essack, Jalaluddin Rakhmat, Abdul Karim Souroush, dan Yusuf Qaradhawi. Corak pemikiran Islam kontemporer ini lebih berupaya melakukan rekonstruksi wacana keislaman, mendamaikan konflik antar mazhab seperti Sunni dan Syiah dengan melakukan dialog antarmazhab, menafsirkan nash-nash Islam sesuai dengan konteks zaman dalam berbagai isu yang lebih relevan dengan persoalan umat Islam kontemporer, terutama kerukunan antar umat beragama dan wacana pluralisme. 

No comments:

Post a Comment