Selamat Datang Di Blog Iyan Al-Balangi.Terima kasih telah berkunjung.

Label

Saturday, June 8, 2013

Bromo Part II



Perjalanan Ke Bromo:
Antara Tekad dan Nekat

Biar kami menderu menembus hujan
Melepas dekapan dingin malam di jalanan
Melaju sejauh asa dan harapan
Mengejar mentari terbit, menari di atas ketinggian
Meski buta arah, namun kami masih punya tujuan
Apapun yang terjadi, kita lima sekawan bersatu, bersama, sejalan
***


Awal
            Well, let me start this incredible story.
            Fuih…akhirnya semester dua berakhir juga. Nulis artikel, bikin kompilasi materi, nyusun modul, buat laporan small research, hingga menggarap proposal tesis merupakan sajian nikmat plus teman begadang paling asyik selama beberapa minggu terakhir. Merdeka, itu sebenarnya kata paling tepat ketika berada di masa-masa libur seperti ini. Dan jalan-jalan adalah menu pilihan yang menarik untuk membunuh waktu kosong, terutama bagi mahasiswa full time yang gak punya kerjaan lain selain kuliah. hee.
            Mumpung sedang berada di Jawa timur, salah satu kota di Indonesia dengan tawaran objek wisata yang cukup lengkap, saya ingin mengekplorasi dan bertualang selama liburan ini. Bromo, wisata ini sebenarnya sudah sangat menggiurkan semenjak saya disetujui untuk melanjutkan kuliah di Malang. Pasalnya, dari berbagai blog review, wisata ini dikatakan menawarkan pesona yang cantik mulai dari sunrise, kawah, bukit teletabies, pasir berbisik dan savanna. Ditambah, melihat foto-foto yang dipajang para backpackers, objek wisata ini menjadi semakin wajib untuk masuk di list tempat yang harus dikunjungi.

Kesempatan itu ada
            Kesempatan itu datang di liburan semester ini ketika saya dan teman sekos, Ronald anak Medan, sepakat untuk berangkat di akhir bulan Mei atau awal-awal Juni. Rencana dimulai dengan menghasut
teman-teman satu kelas untuk liburan. Beberapa merespon dan cukup antusias untuk ikut. Namun seiring waktu, satu persatu mengundurkan diri. Mulai dari punya acara liburan sendiri, ada acara keluarga, pekerjaan, dan berbagai hal lainnya. Meski demikian, kami sepakat bahwa tanggal 6 Juni acara ini harus jadi atau tidak sama sekali. Masalahnya, sudah beberapa kali ini ditunda dan jika harus menunggu banyak yang bisa ikut, kemungkinan kecil terlaksana. Untuk memperkecil biaya dan agar bisa bertualang sepuasnya, kami memutuskan untuk menggunakan motor daripada rental mobil. Alhasil, di H-3, ada sekitar 7 orang yang bisa ikut, yaitu Desi dan pacaranya, Mita, Raka, Ronald, Lia, dan saya sendiri. Motor cukup dan kita pun punya pemandu, yaitu Desi dan Mita yang pernah ke Bromo sebelumnya, meski mereka bilang tidak hapal persis jalannya.

Seleksi itu masih terjadi
            Di H-2 ternyata pacar Desi tidak bisa ikut dikarenakan ada suatu keperluan. Namun sepertinya ini tidak terlalu masalah mengingat kendaraan masih cukup dan dengan tiga orang pria dan tiga orang wanita berarti formasi sopir dan penumpang masih pas. Namun tidak berhenti di sini. Sekitar pukul 22.00 Ronald Me-Whatsapp saya (padahal kamar kami bersebalahan) bahwa Raka tidak bisa ikut karena ada urusan dan dia harus kembali ke Kediri. Kami harus maklum dan mencoba mencari solusi agar satu penumpang tidak tertinggal. Agus, anak kelas A, sepertinya menjadi satu-satunya alternatif malam itu. Sebenarnya dia sudah diajak jauh-jauh hari, namun sepertinya tidak terlalu antusias dan dia mengaku keadaannya beberapa hari ini tidak begitu baik. Malam itu kami putuskan untuk menjengok ke kosnya besok pagi dan “memaksanya” ikut jika kondisi memungkinkan. Dan hasilnya, dia bilang iya setelah Ronald membujuknya dengan berbagai “paksaan.”
            Jam 10.20 WIB kami berkumpul untuk membicarakan apa-apa saja yang diperlukan selama perjalanan. Dalam diskusi ini, ada Lili yang sebenarnya diharapkan bisa ikut mengingat dia sepertinya lebih mengerti medan Bromo. Namun sayang, dia kelelahan dan tidak punya teman untuk membonceng. Setelah membahas tetek bengek perjalanan, konsumsi dan keperluan, kami  putuskan akan berangkat pukul 21.00 WIB lewat jalur Probolinggo dikarenakan akses jalan yang dikatakan lebih nyaman dibanding lainnya.
            Jam karet ala Indonesia berlaku dimana-mana, berbagai tingkat usia, kondisi, dan acara. Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 namun para personel penjelah masih belum lengkap. Kami masih menuggu Agus, Lia, dan Mita. Selang 15 menit kemudian Agus dan Lia baru datang. Mita masih belum menampakkan batang hidungnya, namun kami maklumi karena dia seksi konsumsi yang mungkin masih menunggu tukang nasi goreng menanam padi. Sekitar pukul 21.30 dia baru tiba namun anehnya hanya memakai kaos dan celana. Dan tiba-tiba dia berkata:
            Maaf lo rek, aku gak bisa ikut. Aku gak dibolehin sama mamaku.”
            Dan terjadi lagi…..sepertinya lagu Noah ini menjadi back sound sebelum keberangkatan kami. Satu orang personil masih terseleksi di jam-jam terakhir. Tidak bisa dipaksakan, meski Ronald sepertinya agak kecewa. Ini berarti kami hanya akan pergi berlima dan malam mulai gerimis lagi.
            But Mita, Thanks banget atas nasi goreng, snack, jaket, n motornya.:-)

Tekad orang-orang Nekat
            Sejak sore Malang diguyur hujan. Ini Juni dan adanya hujan berarti udara dingin kian menjadi. Namun ini semua tidak menyurutkan niat kami, maju terus, terobos, harus sampai ke Bromo malam ini. Sebenarnya, kami masih merasa bahwa sayang sekali jika kami hanya berlima dan hanya Desi satu-satunya yang tahu arah ke sana. Karena itu, sebelum mencapai Jl Soekarno  Hatta, kami masih mencoba menghubungi Lili. Mengingat Ronald sendiri, kami pikir masih ada kemungkinan dia bisa ikut. Sayang, nomor handphone dia satu-satunya sibuk.
            Sejak dari Malang hingga Probolinggo kami menembus malam diringi gerimis dan kadang hujan. Bahkan di suatu daerah, kalau tidak salah Wonorejo, kami harus berhenti di suatu Mesjid mengingat hujan yang sangat lebat. Tak diayal, seluruh perlengkapan yang kami pakai untuk melawan dinginnya udara Bromo basah kuyup terutama sepatu, kaus kaki, dan sarung tangan. Apa mau dikata, berkendaraan dengan kaus tangan basah, sepatu dan kaus kaki berair, dalam guyuran hujan pun harus dilakoni mengingat kami sudah bertekat malam ini sampai.
            Dalam perjalanan, tour guide bergantian antara Desi dan Lia. Lia berdasarkan ingatannya pada jalur bus yang ia tumpangi setiap kali pulang kampung ke Situ Bondo. Sementara Desi, juga berdasarkan ingatannya pada waktu perjalanan ke Bromo sebelumnya menggunakan mobil. Jadi intinya, dalam group ini, memang tidak ada yang benar-benar tahu jalan menuju Bromo. Ronald, Agus, dan saya apalagi karena ini merupakan perjalanan pertama kami. Seperti orang buta menuntun si buta lainnya.
            Ketika memasuki Purbolinggo, Desi pun sepertinya tidak yakin arah jalan ke Bromo. Sekarang jurus ampuh yang kami miliki hanyalah berpatokan pada rambu jalan dan bertanya. Dengan kondisi hujan, sebagian jalanan yang begitu sepi, dan rombongan yang hanya tiga buah motor ini banyak hal yang mungkin terjadi. Namun semangat petualang sepertinya mengalahkan segalanya. Apa pun yang terjadi, entah kita sampai atau tersesat kita tetap sama-sama dan nikmati petualangan malam kali ini. Inilah tekad orang-orang nekat.

Such a breakthrough
            Dingin dan hujan sepertinya memang tak pernah lelah tuk memeluk kami selama perjalanan. Berkali-kali kami berhenti mengingat Agus dan Ronald harus membersihkan kaca mata mereka yang kabur akibat basahan air hujan. Laju kendaraan hanya bisa antara 40-50 KM/jam. Sesekali kami bertanya untuk memastikan bahwa jalur yang kami tempuh tepat. Beruntung, malam dan dingin tidak melenakan beberapa pemilik warung yang masih setia berjualan meski jalanan sudah begitu sepi.
            Saya sendiri bukan seorang yang baik dalam mengingat jalan apa saja yang sudah saya lalui. Bersama tulisan ini, jalan menuju Bromo sudah menguap dari kepala dan menghilang entah kemana. So, jangan berharap dalam cerita ini ada rute lengkap bagaimana cara ke Bromo. Well, back to the story. Setelah mengikuti arah papan petunjuk, di desa Tosari kalau tidak salah, akhirnya kami bertemu dengan para rombongan lain yang sedang beristirahat di sebuah warung yang sudah tutup. Alhamdulillah, it’s such a breakthrough guys. Para orang buta ini berhasil menemukan jalan kebenaran. Kami berhenti sejenak untuk ikut berteduh mengingat hujan semakin lebat. Tatkala berkenalan satu sama lain ternyata mereka berasal dari satu kampus yang sama, Universitas Negeri Malang. Kata mereka, jarak yang kita harus kita tempuh hanya tinggal sekitar 14 KM. Sebenarnya kami ingin berangkat ke Bromo sama-sama. Tapi, ketika mereka sudah bersiap, masih aja ada yang lelet berbenah. Akibatnya, rombangan 5 sekawan lagi.
Di pemberhentian
 
Rombongan lain dari UM yng kami temukan dijalan

            Jalan mulai menantang. Kelok dan liuk ala pegunungan sudah tampak. Sepeda motor harus melambat mengingat ini perjalanan pertama saya. Ditambah ini tengah malam. Pandangan dan konsetrasi takkan sebagus siang apalagi saya orang yang sudah biasa molor bila jam menunjuk pukul 22.00. Beruntung, navigator di belakang saya bagus, dia yang selalu mengingatkan harus gigi berapa setiap tanjakan dan turunan. Well, Bu Guru Desi thanks ya…udah ngajaran gimana berkendara.:-)
            Lambat namun pasti. Akhirnya kita sampai ke daerah penanjakan dan bisa mengisi bensin yang sudah mulai sekarat. Di sini sudah ada beberapa penjual topi penutup kepala (kupluk), kaus kaki, dan dan sarung tangan. Mengingat semua yang kami pakai sudah basah, akhirnya saya sendiri membeli sepasang kaus kaki dan kaus tangan seharga 25 ribu rupiah. Ini mungkin bisa jadi saran buat penjelajah amatiran lain seperti kami. Kalau bisa, sediakan kaus tangan  dan kaus kaki cadangan dalam ransel kalian. Dan jangan lupa bawa sandal. Ini untuk mengantisipasi pengeluaran tambahan serta dingin yang bertubi-tubi akibat pakaian basah bila hujan. Dan bagi yang memakai motor, isilah bensin sampai full sebelum berangkat. Terutama di malam hari, sulit sekali kami mencari penjual bensin. Sekadar informasi, harga bensin di Penanjakan sekitar 7-8 ribu/liter.
            Sebelum sampai di pintu gerbang, kami harus berhenti karena portal belum dibuka. Tak ada yang tahu alasan pasti kenapa ditutup. Kami hanya mendengar seorang yang tampaknya tukang parkir mendekati rombongan lain dan berkata bahwa mereka harus membayar karcir dulu sebesar 2000 rupiah sebelum masuk. Mereka setuju dan diijinkan. Ketika tukang parkir itu mendekati kami dan menanyakan hal yang sama, Ronald berbisik bahwa tak usah membayar. Biarkan saja menunggu dulu seperti rombongan lainnya yang masih banyak berdiri di sana. Kami menurut sajalah apa kata tetua. Ketika jam menunjukkan sekitar pukul 03.30, benar saja gerbang dibuka dan motor masuk dengan bebasnya. Free tanpa harus membayar. Padahal waktu itu kami sudah mulai buka-buka dompet. Tapi, abang bilang: “Ngapain kalian buka-buka dompet di sini. Jangan maulah dibodoh-bodohin,” dengan logat Bataknya. Well, Rp 6 ribu selamat.

Petualangan dimulai
            Tiket masuk ke Bromo ternyata hanya Rp 10 ribu per orang. Ini berbeda dengan informasi yang kami dapat diinternet bahwa tiket masuk Bromo melonjak menjadi Rp 72.500/orang sejak per 1 Juni. Berita ini semakin kuat semenjak ada wisatawan yang menyertakan bukti otentik berupa foto tiket terbaru di sebuah website. We’re lucky, mungkin ada yang protes.
            Cengkaraman dingin semakin kuat. Kabut pun mulai merambat. Tanjakan dan turunan kian banyak. Pandangan mata sudah sangat terbatas. Suara motor para pengunjung mengaung membelah senyap jalanan gunung. Well, petualangan benar-benar dimulai. Penumpang di belakang sepertinya harus ekstra siaga. Beberapa kali motor hampir terjatuh karena keluar dari badan jalan. Ini bukan tentang dingin, tapi selimut kabut terlalu tebal bagi mataku yang sudah minus 0.25 dan 0.75 dan tanpa kacamata. Ronald sendiri mengaku beberapa kali melihat ular yang terjatuh dari pepohonan. Seram tapi keren, guys.

Mentari Malu-Malu tapi Mau
            Setelah melalui berbagai rintangan, akhirnya sampai juga ke wilayah view point di penanjakan. Kami memarkirkan motor dan mendekat ke sebuah warung guna sekadar minuh teh hangat dan makan nasi goreng dari Mita yang sudah mulai berubah rasa. Satu bungkus sama-sama.
Ngeteh dulu.
 Nasi Goreng yang sudah berubah rasa.
Sayang, kamera terkena embun saat penampakan sunrise.

   Di sana orang-orang sudah banyak berkumpul. Sebelum menaiki tangga, cukup banyak yang menyediakan jasa sewa jaket, jagung bakar, jualan topi, kaos dan cindremata lainnya. Mengingat jam sudah menunjukkan pukul 04.30, kami berempat menyempatkan diri shalat Shubuh di sebuah Mushalla kecil di sisi kanan tangga.
Semua bergerak menaiki tangga dengan satu tujuan: melihat mentari terbit (sunrise). Semua menunggu hingga terdengar teriakan ketika rona merah mewarnai satu sudut langit. Ya, matahari mulai menampakkan dirinya. Orang-orang berkumpul dan tampak begitu senang. Hujan semalaman ternyata tidak menyurutkan harapan. Sayang, dia malu-malu. Kemunculannya hanya sepersekian menit hingga kembali hilang ditutupi kabut. Mentari pagi ini malu-malu, tapi beruntung ia masih mau.
Dinginnya Penanjakan 
Apakah kita kecewa? Well, saya sendiri tidak terlalu antusias tentang ada atau tidak adanya sunrise. Entah kenapa bagiku itu biasa. Dari sudut mana pun kita menatap mentari terbit atau terbenam semuanya bagi saya sama. Ada hal yang lebih baik daripada itu, cara kita sampai ke sini sudah luar biasa. Mengalahkan hujan, dekapan dingin malam, dalam ikatan kebersamaan. Menurutku it’s the point.
Dapat Bule, Foto lagi.

 Sebelum turun, abadikan lagi ya.
Mereka memang hantu foto yang gak pernah mati gaya.

.
Kawah Bromo, pendakian asa
            Kami menuruni tangga dan melanjutkan perjalanan ke kawah gunung Bromo. Tak seperti perjalanan sebelumnya, jalan sudah agak terang, dingin tak lagi mengekang. Perjalanan ke kawah dirasakan lebih nyaman.
   Foto dulu.         

Namun, kenyamanan itu sementara. Tanjakan dan turunan kaki gunung Bromo ternyata lebih hebat. Meski saya sudah biasa berkendara, namun harus diakui bahwa rute yang dijalani selama ini adalah jalan mulus. Bukan gunung seperti ini. Lagipula, saya lebih sering dibonceng daripada membonceng ketika jalanan tidak bersahabat. Hasilnya, Bu Des harus memberikan arahan tentang: “Pake rem, naikan giginya, sekarang bisa turun, dan agak pelan”. Well, Kaya nyonya Puff yang lagi ngajarin Spongebob buat nyetir. Namun sayang, kami tidak memiliki foto tentang bagaimana berkeloknya jalananan ini. Tergelincir sedikit saja ban sepeda motor atau rem agak blong, mungkin saya akan menyesal tidak minta izin sama orang tua sebelum berangkat. Hee.
            Sekuat tekad, sebesar nekat. Kami sampai di lautan pasir. Thanks God, You saved us. Cantik, kata itu mewakili untuk sajian pemandangan yang terhapar di depan mata. Komposisi biru langit, hijaunya gunung, dan lembutnya pasir yang tampak hitam karena basah membayar lunas perjalanan tadi malam. Kita sampai.
         Yihaaa...My Greeny udah bisa naik Gunung.  

 Lelah, ngantuk, dan dingin sepertinya tak membuat perut menuntut untuk makan meski sebenarnya lapar. Padahal kami sudah mempersiapakan banyak bekal dari kos. Mulai dari roti, coklat, wafer, dan makanan kecil lainnya. Kondisi Gunung tak memacu nafsu makan. Entahlah. Dengan kondisi seperti ini, seharusnya kami tidak memaksakan diri untuk mendaki kawah. Namun apa lacur, kaki sudah melangkah, jalan sudah ditempuh. Jangan siakan waktu yang telah tiada hanya untuk sekedar melihat mentari yang malu-malu terbit dan menginjak pasir yang masih basah. Dengan segala asa yang tersisa, kami berhasil menaikinya, melihat pesona kawah dengan segala pesona mistisnya.
We did it. Hore!!!

 Bisa masak Mie kayanya di kawah ini.
Naik-naik ke puncak kawah...tinggi-tinggi sekali.

Saatnya Pulang
            Jam masih menunjukkan sekitar pukul 11.00. Tapi suasana di Bromo sudah seperti sore hari. Di sini waktu terasa merangkak. Lambat dan mentari tidak menyapa secerah di kota. Setelah puas berada di ketinggian dan melepas lelah, kami akhirnya turun. Lia tampak seperti nenek-nenek yang harus dituntun untuk menuruni tangga. Mbak yang satu ini tampak seperti ringkih tapi masih mau buat naik meski tertatih-tatih. Katanya buat latihan naik haji.
            Singkat, kami pulang dengan rute yang berbeda. Kami urungkan niat mengunjungi air terjun Mandakipura karena itu berarti kami harus mengambil rute sebelumnya, lewat Probolinggo. Jalannya memang lebih nyaman, namun itu juga berarti kami harus kembali menaiki kaki gunung Bromo. Kami tak bisa ambil resiko. Sudah terlalu lelah dan tak yakin motor bisa dipakai untuk menaiki jalanan seperti itu. Walhasil, mengarungi lautan pasir, melalui savanna dan melewati bukit teletabis adalah alternatif yang bisa dipilih. Lewat jalur tumpang dikatakan lebih dekat meski jalan lebih rusak. Dan itu benar.
            Jalur Tumpang memang rusak. Sayang sekali, padahal Bromo merupakan salah satu objek wisata pilihan kota ini, tapi mengapa pemerintah sepertinya belum memperhatikan kenyamanan dan keamanan pengunjung yang melewati jalur ini. Lubang dan aspal (lebih tepatnya semen) jalan sempit yang tidak karuan menjadi tantangan tersendiri. Hal ini diperburuk dengan kelokan tikungan dan tanjakan disertai truk dan jeep yang hilir mudik. Motor saya sendiri jatuh karena terantuk kerikil yang bertebaran di jalan. Di sisi kiri, lembah nan curam bisa saja sudah siap menampung pengendara amatir nekat seperti saya. Tapi, kami bisa melaluinya meski motor tak bisa jalan dan harus dituntun beberapa saat.
            Hujan sepertinya ingin bersahabat dengan kami. Ketika melewati sekitar jalan menuju Coban Pelangi. Langit mulai menurunkan gerimis dan rintik kian menjadi bulir air yang membuat kami kembali basah. Terpaksa sekali lagi harus berhenti di sebuah warung kecil. Kali ini kami terpisah, Ronald sendiri menembus hujan karena dia tak melihat aba-aba berhenti yang diberikan Desi. Di warung, kami menikmati secangkir teh hangat buat sekadar menghormati penjaga warung sekalian ucapan terima kasih. Untungnya juga ada beberapa camilan dan kue yang bisa dimakan untuk mengganjal perut yang sebenarnya sudah berasa lapar.
            Ditunggu sekian menit, hujan tidak jua berhenti. Kami putuskan untuk lanjut dan menyusul Ronald yang sudah menunggu di sebuah perempatan jalan. Kami cukup tertinggal jauh ternyata. Setelah ketemu, perjalanan dilanjutkan. Mencari tempat makan dan terus kembali ke Malang.
            Perjalanan telah selesai namun sejak itulah cerita petualangan ini terbingkai. Kawan, kapan pun suatu saat dalam hidupmu kau temui kesulitan, ingatlah hari ini bahwa kita mampu menaklukkan tantangan asal kita terus berusaha dan punya kemauan. Happy Holiday.:-)

 Ingatlah hari ini!
Kisah versi lain silakan klik di sini!

No comments:

Post a Comment