Perjalanan Ke Bromo:
Antara Tekad dan Nekat
Biar
kami menderu menembus hujan
Melepas
dekapan dingin malam di jalanan
Melaju
sejauh asa dan harapan
Mengejar
mentari terbit, menari di atas ketinggian
Meski
buta arah, namun kami masih punya tujuan
Apapun
yang terjadi, kita lima sekawan bersatu, bersama, sejalan
***
Awal
Well, let me start this incredible story.
Fuih…akhirnya semester dua berakhir
juga. Nulis artikel, bikin kompilasi materi, nyusun modul, buat laporan small research, hingga menggarap proposal
tesis merupakan sajian nikmat plus teman begadang paling asyik selama beberapa
minggu terakhir. Merdeka, itu sebenarnya kata paling tepat ketika berada di
masa-masa libur seperti ini. Dan jalan-jalan adalah menu pilihan yang menarik
untuk membunuh waktu kosong, terutama bagi mahasiswa full time yang gak punya
kerjaan lain selain kuliah. hee.
Mumpung sedang berada di Jawa timur,
salah satu kota di Indonesia dengan tawaran objek wisata yang cukup lengkap,
saya ingin mengekplorasi dan bertualang selama liburan ini. Bromo, wisata ini
sebenarnya sudah sangat menggiurkan semenjak saya disetujui untuk melanjutkan
kuliah di Malang. Pasalnya, dari berbagai blog review, wisata ini dikatakan
menawarkan pesona yang cantik mulai dari sunrise, kawah, bukit teletabies,
pasir berbisik dan savanna. Ditambah, melihat foto-foto yang dipajang para
backpackers, objek wisata ini menjadi semakin wajib untuk masuk di list tempat
yang harus dikunjungi.
Kesempatan itu ada
Kesempatan itu datang di liburan
semester ini ketika saya dan teman sekos, Ronald anak Medan, sepakat untuk
berangkat di akhir bulan Mei atau awal-awal Juni. Rencana dimulai dengan menghasut
teman-teman satu kelas untuk liburan. Beberapa merespon dan cukup antusias
untuk ikut. Namun seiring waktu, satu persatu mengundurkan diri. Mulai dari
punya acara liburan sendiri, ada acara keluarga, pekerjaan, dan berbagai hal
lainnya. Meski demikian, kami sepakat bahwa tanggal 6 Juni acara ini harus jadi
atau tidak sama sekali. Masalahnya, sudah beberapa kali ini ditunda dan jika
harus menunggu banyak yang bisa ikut, kemungkinan kecil terlaksana. Untuk
memperkecil biaya dan agar bisa bertualang sepuasnya, kami memutuskan untuk
menggunakan motor daripada rental mobil. Alhasil, di H-3, ada sekitar 7 orang
yang bisa ikut, yaitu Desi dan pacaranya, Mita, Raka, Ronald, Lia, dan saya
sendiri. Motor cukup dan kita pun punya pemandu, yaitu Desi dan Mita yang
pernah ke Bromo sebelumnya, meski mereka bilang tidak hapal persis jalannya.
Seleksi itu masih terjadi
Di H-2 ternyata pacar Desi tidak
bisa ikut dikarenakan ada suatu keperluan. Namun sepertinya ini tidak terlalu
masalah mengingat kendaraan masih cukup dan dengan tiga orang pria dan tiga
orang wanita berarti formasi sopir dan penumpang masih pas. Namun tidak
berhenti di sini. Sekitar pukul 22.00 Ronald Me-Whatsapp saya (padahal kamar kami bersebalahan) bahwa Raka tidak
bisa ikut karena ada urusan dan dia harus kembali ke Kediri. Kami harus maklum
dan mencoba mencari solusi agar satu penumpang tidak tertinggal. Agus, anak
kelas A, sepertinya menjadi satu-satunya alternatif malam itu. Sebenarnya dia
sudah diajak jauh-jauh hari, namun sepertinya tidak terlalu antusias dan dia
mengaku keadaannya beberapa hari ini tidak begitu baik. Malam itu kami putuskan
untuk menjengok ke kosnya besok pagi dan “memaksanya” ikut jika kondisi
memungkinkan. Dan hasilnya, dia bilang iya setelah Ronald membujuknya dengan
berbagai “paksaan.”
Jam 10.20 WIB kami berkumpul untuk
membicarakan apa-apa saja yang diperlukan selama perjalanan. Dalam diskusi ini,
ada Lili yang sebenarnya diharapkan bisa ikut mengingat dia sepertinya lebih
mengerti medan Bromo. Namun sayang, dia kelelahan dan tidak punya teman untuk
membonceng. Setelah membahas tetek bengek perjalanan, konsumsi dan keperluan,
kami putuskan akan berangkat pukul 21.00
WIB lewat jalur Probolinggo dikarenakan akses jalan yang dikatakan lebih nyaman
dibanding lainnya.
Jam
karet ala Indonesia berlaku dimana-mana, berbagai tingkat usia, kondisi, dan
acara. Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 namun para personel penjelah masih
belum lengkap. Kami masih menuggu Agus, Lia, dan Mita. Selang 15 menit kemudian
Agus dan Lia baru datang. Mita masih belum menampakkan batang hidungnya, namun
kami maklumi karena dia seksi konsumsi yang mungkin masih menunggu tukang nasi
goreng menanam padi. Sekitar pukul 21.30 dia baru tiba namun anehnya hanya
memakai kaos dan celana. Dan tiba-tiba dia berkata:
“Maaf
lo rek, aku gak bisa ikut. Aku gak dibolehin sama mamaku.”
Dan
terjadi lagi…..sepertinya lagu Noah ini menjadi back sound sebelum
keberangkatan kami. Satu orang personil masih terseleksi di jam-jam terakhir.
Tidak bisa dipaksakan, meski Ronald sepertinya agak kecewa. Ini berarti kami
hanya akan pergi berlima dan malam mulai gerimis lagi.
But Mita, Thanks banget atas nasi goreng,
snack, jaket, n motornya.:-)
Tekad orang-orang Nekat
Sejak
sore Malang diguyur hujan. Ini Juni dan adanya hujan berarti udara dingin kian
menjadi. Namun ini semua tidak menyurutkan niat kami, maju terus, terobos,
harus sampai ke Bromo malam ini. Sebenarnya, kami masih merasa bahwa sayang
sekali jika kami hanya berlima dan hanya Desi satu-satunya yang tahu arah ke
sana. Karena itu, sebelum mencapai Jl Soekarno
Hatta, kami masih mencoba menghubungi Lili. Mengingat Ronald sendiri,
kami pikir masih ada kemungkinan dia bisa ikut. Sayang, nomor handphone dia
satu-satunya sibuk.
Sejak dari Malang hingga Probolinggo
kami menembus malam diringi gerimis dan kadang hujan. Bahkan di suatu daerah,
kalau tidak salah Wonorejo, kami harus berhenti di suatu Mesjid mengingat hujan
yang sangat lebat. Tak diayal, seluruh perlengkapan yang kami pakai untuk
melawan dinginnya udara Bromo basah kuyup terutama sepatu, kaus kaki, dan
sarung tangan. Apa mau dikata, berkendaraan dengan kaus tangan basah, sepatu
dan kaus kaki berair, dalam guyuran hujan pun harus dilakoni mengingat kami
sudah bertekat malam ini sampai.
Dalam perjalanan, tour guide
bergantian antara Desi dan Lia. Lia berdasarkan ingatannya pada jalur bus yang
ia tumpangi setiap kali pulang kampung ke Situ Bondo. Sementara Desi, juga
berdasarkan ingatannya pada waktu perjalanan ke Bromo sebelumnya menggunakan
mobil. Jadi intinya, dalam group ini, memang tidak ada yang benar-benar tahu
jalan menuju Bromo. Ronald, Agus, dan saya apalagi karena ini merupakan perjalanan
pertama kami. Seperti orang buta menuntun
si buta lainnya.
Ketika memasuki Purbolinggo, Desi
pun sepertinya tidak yakin arah jalan ke Bromo. Sekarang jurus ampuh yang kami
miliki hanyalah berpatokan pada rambu jalan dan bertanya. Dengan kondisi hujan,
sebagian jalanan yang begitu sepi, dan rombongan yang hanya tiga buah motor ini
banyak hal yang mungkin terjadi. Namun semangat petualang sepertinya
mengalahkan segalanya. Apa pun yang terjadi, entah kita sampai atau tersesat
kita tetap sama-sama dan nikmati petualangan malam kali ini. Inilah tekad
orang-orang nekat.
Such a breakthrough
Dingin dan hujan sepertinya memang
tak pernah lelah tuk memeluk kami selama perjalanan. Berkali-kali kami berhenti
mengingat Agus dan Ronald harus membersihkan kaca mata mereka yang kabur akibat
basahan air hujan. Laju kendaraan hanya bisa antara 40-50 KM/jam. Sesekali kami
bertanya untuk memastikan bahwa jalur yang kami tempuh tepat. Beruntung, malam
dan dingin tidak melenakan beberapa pemilik warung yang masih setia berjualan
meski jalanan sudah begitu sepi.
Saya sendiri bukan seorang yang baik
dalam mengingat jalan apa saja yang sudah saya lalui. Bersama tulisan ini, jalan
menuju Bromo sudah menguap dari kepala dan menghilang entah kemana. So, jangan
berharap dalam cerita ini ada rute lengkap bagaimana cara ke Bromo. Well, back to the story. Setelah
mengikuti arah papan petunjuk, di desa Tosari kalau tidak salah, akhirnya kami
bertemu dengan para rombongan lain yang sedang beristirahat di sebuah warung
yang sudah tutup. Alhamdulillah, it’s
such a breakthrough guys. Para orang buta ini berhasil menemukan jalan
kebenaran. Kami berhenti sejenak untuk ikut berteduh mengingat hujan semakin
lebat. Tatkala berkenalan satu sama lain ternyata mereka berasal dari satu
kampus yang sama, Universitas Negeri Malang. Kata mereka, jarak yang kita harus
kita tempuh hanya tinggal sekitar 14 KM. Sebenarnya kami ingin berangkat ke
Bromo sama-sama. Tapi, ketika mereka sudah bersiap, masih aja ada yang lelet
berbenah. Akibatnya, rombangan 5 sekawan lagi.
Di pemberhentian
Rombongan lain dari UM yng kami temukan dijalan
Jalan mulai menantang. Kelok dan
liuk ala pegunungan sudah tampak. Sepeda motor harus melambat mengingat ini
perjalanan pertama saya. Ditambah ini tengah malam. Pandangan dan konsetrasi
takkan sebagus siang apalagi saya orang yang sudah biasa molor bila jam menunjuk
pukul 22.00. Beruntung, navigator di belakang saya bagus, dia yang selalu
mengingatkan harus gigi berapa setiap tanjakan dan turunan. Well, Bu Guru Desi
thanks ya…udah ngajaran gimana berkendara.:-)
Lambat
namun pasti. Akhirnya kita sampai ke daerah penanjakan dan bisa mengisi
bensin yang sudah mulai sekarat. Di sini sudah ada beberapa penjual topi penutup
kepala (kupluk), kaus kaki, dan dan sarung tangan. Mengingat semua yang kami
pakai sudah basah, akhirnya saya sendiri membeli sepasang kaus kaki dan kaus
tangan seharga 25 ribu rupiah. Ini mungkin bisa jadi saran buat penjelajah
amatiran lain seperti kami. Kalau bisa, sediakan kaus tangan dan kaus kaki cadangan dalam ransel kalian.
Dan jangan lupa bawa sandal. Ini untuk mengantisipasi pengeluaran tambahan
serta dingin yang bertubi-tubi akibat pakaian basah bila hujan. Dan bagi yang
memakai motor, isilah bensin sampai full sebelum berangkat. Terutama di malam
hari, sulit sekali kami mencari penjual bensin. Sekadar informasi, harga bensin
di Penanjakan sekitar 7-8 ribu/liter.
Sebelum sampai di pintu gerbang,
kami harus berhenti karena portal belum dibuka. Tak ada yang tahu alasan pasti
kenapa ditutup. Kami hanya mendengar seorang yang tampaknya tukang parkir
mendekati rombongan lain dan berkata bahwa mereka harus membayar karcir dulu
sebesar 2000 rupiah sebelum masuk. Mereka setuju dan diijinkan. Ketika tukang
parkir itu mendekati kami dan menanyakan hal yang sama, Ronald berbisik bahwa
tak usah membayar. Biarkan saja menunggu dulu seperti rombongan lainnya yang
masih banyak berdiri di sana. Kami menurut sajalah apa kata tetua. Ketika jam
menunjukkan sekitar pukul 03.30, benar saja gerbang dibuka dan motor masuk
dengan bebasnya. Free tanpa harus membayar. Padahal waktu itu kami sudah mulai
buka-buka dompet. Tapi, abang bilang: “Ngapain kalian buka-buka dompet di sini.
Jangan maulah dibodoh-bodohin,” dengan logat Bataknya. Well, Rp 6 ribu selamat.
Petualangan dimulai
Tiket masuk ke Bromo ternyata hanya
Rp 10 ribu per orang. Ini berbeda dengan informasi yang kami dapat diinternet
bahwa tiket masuk Bromo melonjak menjadi Rp 72.500/orang sejak per 1 Juni.
Berita ini semakin kuat semenjak ada wisatawan yang menyertakan bukti otentik
berupa foto tiket terbaru di sebuah website. We’re lucky, mungkin ada yang protes.
Cengkaraman dingin semakin kuat.
Kabut pun mulai merambat. Tanjakan dan turunan kian banyak. Pandangan mata
sudah sangat terbatas. Suara motor para pengunjung mengaung membelah senyap
jalanan gunung. Well, petualangan benar-benar dimulai. Penumpang di belakang
sepertinya harus ekstra siaga. Beberapa kali motor hampir terjatuh karena
keluar dari badan jalan. Ini bukan tentang dingin, tapi selimut kabut terlalu
tebal bagi mataku yang sudah minus 0.25 dan 0.75 dan tanpa kacamata. Ronald
sendiri mengaku beberapa kali melihat ular yang terjatuh dari pepohonan. Seram tapi keren, guys.
Mentari Malu-Malu tapi Mau
Setelah melalui berbagai rintangan,
akhirnya sampai juga ke wilayah view point di penanjakan. Kami memarkirkan
motor dan mendekat ke sebuah warung guna sekadar minuh teh hangat dan makan
nasi goreng dari Mita yang sudah mulai berubah rasa. Satu bungkus sama-sama.
Ngeteh dulu.
Nasi Goreng yang sudah berubah rasa.
Sayang, kamera terkena embun saat penampakan sunrise.
Di sana orang-orang sudah banyak
berkumpul. Sebelum menaiki tangga, cukup banyak yang menyediakan jasa sewa
jaket, jagung bakar, jualan topi, kaos dan cindremata lainnya. Mengingat jam
sudah menunjukkan pukul 04.30, kami berempat menyempatkan diri shalat Shubuh di
sebuah Mushalla kecil di sisi kanan tangga.
Semua bergerak menaiki tangga dengan satu tujuan: melihat mentari terbit
(sunrise). Semua menunggu hingga terdengar teriakan ketika rona merah mewarnai
satu sudut langit. Ya, matahari mulai menampakkan dirinya. Orang-orang
berkumpul dan tampak begitu senang. Hujan semalaman ternyata tidak menyurutkan
harapan. Sayang, dia malu-malu. Kemunculannya hanya sepersekian menit hingga
kembali hilang ditutupi kabut. Mentari pagi ini malu-malu, tapi beruntung ia
masih mau.
Dinginnya Penanjakan
Apakah kita kecewa? Well, saya sendiri tidak terlalu antusias tentang ada
atau tidak adanya sunrise. Entah
kenapa bagiku itu biasa. Dari sudut mana pun kita menatap mentari terbit atau terbenam
semuanya bagi saya sama. Ada hal yang lebih baik daripada itu, cara kita sampai
ke sini sudah luar biasa. Mengalahkan hujan, dekapan dingin malam, dalam ikatan
kebersamaan. Menurutku it’s the point.
Dapat Bule, Foto lagi.
Sebelum turun, abadikan lagi ya.
Mereka memang hantu foto yang gak pernah mati gaya.
.
Kawah Bromo, pendakian asa
Kami
menuruni tangga dan melanjutkan perjalanan ke kawah gunung Bromo. Tak seperti
perjalanan sebelumnya, jalan sudah agak terang, dingin tak lagi mengekang. Perjalanan
ke kawah dirasakan lebih nyaman.
Foto dulu.
Namun, kenyamanan itu sementara. Tanjakan
dan turunan kaki gunung Bromo ternyata lebih hebat. Meski saya sudah biasa
berkendara, namun harus diakui bahwa rute yang dijalani selama ini adalah jalan
mulus. Bukan gunung seperti ini. Lagipula, saya lebih sering dibonceng daripada
membonceng ketika jalanan tidak bersahabat. Hasilnya, Bu Des harus memberikan
arahan tentang: “Pake rem, naikan giginya, sekarang bisa turun, dan agak pelan”.
Well, Kaya nyonya Puff yang lagi ngajarin
Spongebob buat nyetir. Namun sayang, kami tidak memiliki foto tentang
bagaimana berkeloknya jalananan ini. Tergelincir sedikit saja ban sepeda motor
atau rem agak blong, mungkin saya akan menyesal tidak minta izin sama orang tua
sebelum berangkat. Hee.
Sekuat
tekad, sebesar nekat. Kami sampai di lautan pasir. Thanks God, You saved us. Cantik, kata itu mewakili untuk sajian
pemandangan yang terhapar di depan mata. Komposisi biru langit, hijaunya
gunung, dan lembutnya pasir yang tampak hitam karena basah membayar lunas
perjalanan tadi malam. Kita sampai.
Yihaaa...My Greeny udah bisa naik Gunung.
Lelah, ngantuk, dan dingin sepertinya
tak membuat perut menuntut untuk makan meski sebenarnya lapar. Padahal kami
sudah mempersiapakan banyak bekal dari kos. Mulai dari roti, coklat, wafer, dan
makanan kecil lainnya. Kondisi Gunung tak memacu nafsu makan. Entahlah. Dengan
kondisi seperti ini, seharusnya kami tidak memaksakan diri untuk mendaki kawah.
Namun apa lacur, kaki sudah melangkah, jalan sudah ditempuh. Jangan siakan
waktu yang telah tiada hanya untuk sekedar melihat mentari yang malu-malu terbit
dan menginjak pasir yang masih basah. Dengan segala asa yang tersisa, kami
berhasil menaikinya, melihat pesona kawah dengan segala pesona mistisnya.
Bisa masak Mie kayanya di kawah ini.
Naik-naik ke puncak kawah...tinggi-tinggi sekali.
Saatnya Pulang
Jam
masih menunjukkan sekitar pukul 11.00. Tapi suasana di Bromo sudah seperti sore
hari. Di sini waktu terasa merangkak. Lambat dan mentari tidak menyapa secerah
di kota. Setelah puas berada di ketinggian dan melepas lelah, kami akhirnya
turun. Lia tampak seperti nenek-nenek yang harus dituntun untuk menuruni
tangga. Mbak yang satu ini tampak seperti ringkih tapi masih mau buat naik
meski tertatih-tatih. Katanya buat latihan naik haji.
Singkat, kami pulang dengan rute yang
berbeda. Kami urungkan niat mengunjungi air terjun Mandakipura karena itu
berarti kami harus mengambil rute sebelumnya, lewat Probolinggo. Jalannya
memang lebih nyaman, namun itu juga berarti kami harus kembali menaiki kaki
gunung Bromo. Kami tak bisa ambil resiko. Sudah terlalu lelah dan tak yakin
motor bisa dipakai untuk menaiki jalanan seperti itu. Walhasil, mengarungi
lautan pasir, melalui savanna dan melewati bukit teletabis adalah alternatif yang
bisa dipilih. Lewat jalur tumpang dikatakan lebih dekat meski jalan lebih
rusak. Dan itu benar.
Jalur Tumpang memang rusak. Sayang sekali,
padahal Bromo merupakan salah satu objek wisata pilihan kota ini, tapi mengapa
pemerintah sepertinya belum memperhatikan kenyamanan dan keamanan pengunjung
yang melewati jalur ini. Lubang dan aspal (lebih tepatnya semen) jalan sempit
yang tidak karuan menjadi tantangan tersendiri. Hal ini diperburuk dengan
kelokan tikungan dan tanjakan disertai truk dan jeep yang hilir mudik. Motor
saya sendiri jatuh karena terantuk kerikil yang bertebaran di jalan. Di sisi
kiri, lembah nan curam bisa saja sudah siap menampung pengendara amatir nekat
seperti saya. Tapi, kami bisa melaluinya meski motor tak bisa jalan dan harus
dituntun beberapa saat.
Hujan sepertinya ingin bersahabat
dengan kami. Ketika melewati sekitar jalan menuju Coban Pelangi. Langit mulai
menurunkan gerimis dan rintik kian menjadi bulir air yang membuat kami kembali
basah. Terpaksa sekali lagi harus berhenti di sebuah warung kecil. Kali ini
kami terpisah, Ronald sendiri menembus hujan karena dia tak melihat aba-aba
berhenti yang diberikan Desi. Di warung, kami menikmati secangkir teh hangat
buat sekadar menghormati penjaga warung sekalian ucapan terima kasih. Untungnya
juga ada beberapa camilan dan kue yang bisa dimakan untuk mengganjal perut yang
sebenarnya sudah berasa lapar.
Ditunggu sekian menit, hujan tidak
jua berhenti. Kami putuskan untuk lanjut dan menyusul Ronald yang sudah
menunggu di sebuah perempatan jalan. Kami cukup tertinggal jauh ternyata.
Setelah ketemu, perjalanan dilanjutkan. Mencari tempat makan dan terus kembali
ke Malang.
Perjalanan telah selesai namun sejak
itulah cerita petualangan ini terbingkai. Kawan, kapan pun suatu saat dalam
hidupmu kau temui kesulitan, ingatlah hari ini bahwa kita mampu menaklukkan
tantangan asal kita terus berusaha dan punya kemauan. Happy Holiday.:-)
Ingatlah hari ini!
Kisah versi lain silakan klik di sini!
No comments:
Post a Comment