Selamat Datang Di Blog Iyan Al-Balangi.Terima kasih telah berkunjung.

Label

Saturday, October 29, 2011

My Short Stories 2

Mencari Tuhan Di Pekuburan


Wajah itu begitu tua, kerutan keriput di air mukanya begitu tampak menyiratkan akan banyaknya pahit manis kehidupan yang telah ia rasakan. Ia duduk sendiri di depan gundukan tanah itu. Di sana tertancap sebuah nisan bertuliskan Fatimah binti Ramlan.
Sudah berjam-jam ia duduk di depan kuburan itu. Akhir-akhir ini kelakuan kakek itu memang tampak aneh di mata orang-orang kampung yang kerap kali melihat ia berada di samping kuburan istrinya  yang telah meninggal lima tahun yang lalu.
“Aneh ya kelalakuan Pak Hasan akhir-akhir ini” kata Bu Rahma.
“Iya, hampir tiap hari setelah Ashar beliau duduk-duduk di depan kuburan isterinya.” Jawab Bu Yani.
“Dan itu ia lakukan sampai menjelang Maghrib” sahut Bu Aini yang juga berombongan pulang dari pengajian.
“Iya, anehnya lagi, menurut kabar orang kampung, beliau bisa senyum-senyum dan kadang sesunggukan sendirian” sahut Bu Rahma lagi “Apa beliau sudah…? Hiih… jadi ngeri membayangkannya ibu-ibu.”
“Hus, jangan suudzun seperti itu, tidak baik! Kita kan baru saja dari pengajian. Mungkin beliau sedang rindu dengan isterinya. Jadi, beliau berziarah tiap hari ke sana.” Nasehat Bu Raudhah.
Suara-suara mulut seperti itu telah kerap kali terdengar dari orang-orang yang melewati jalan utama Kampung Rambutan. Pekuburan itu memang terletak di samping jalan tersebut. Sebenarnya Pak Hasan sendiri telah tahu tentang itu. Tapi ia tak pernah ingin menanggapi. Ia hanya diam dan terus melakukan kebiasaan barunya yang aneh di mata orang-orang kampung.
 Seminggu berlalu. Panas juga kuping anak-anak Pak Hasan dan keluarga lainnya mendengar bisik-bisik orang kampung yang semakin tak enak didengar.
“Kak, kita harus tegur bapak. Orang-orang kampung sudah menuduh macam-macam pada bapak. Bahkan Rus dengar, ada yang mengatakan bapak itu sudah mulai tak waras.”
“Siapa yang berani begitu Rus?” sahut Ibrahim geram, anak bungsu Pak Hasan.
“Tak tahu lah Dik, telah banyak kabar pembicaraan orang kampung seperti itu. Lagi pula, kelakuan bapak memang aneh. Kau tahu, malam selasa kemarin bapak berada di pekuburan sampai jam sepuluh malam. Aku tanya kenapa? Jawab bapak karena sorenya beliau tak sempat ke pekuburan sebab ada undangan kifayah di kampung sebelah. Aku coba bertanya lagi kenapa harus setiap hari ke pekuburan, jawabnya hanya diam. Bingung aku menghadapinya.” Jawab Rusminah.
“Sudahlah Rus, Ibrahim, bersabarlah dalam menghadapi bapak” kata Husein tenang, anak tertua, “Saat ini umur bapak telah 70 tahun. Sulit bagi kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya beliau inginkan. Aku telah mencoba bertanya beberapa kali tentang alasan mengapa bapak seperti itu akhir-akhir ini. Tapi beliau hanya menjawab bahwa beliau tak apa-apa. Akan ada saatnya beliau menjelasakan alasan tentang semua ini pada nantinya.”
“Pada nantinya kapan kak, sudah panas kuping Rus mendengar celoteh orang-orang kampung yang sembrono itu.”
“Iya kak, kakak cobalah nasehati bapak,” Tambah Ibrahim.
“Sekali lagi sabar adik-adikku...jangan kalian juga ikut berprasangka buruk terhadap bapak. Dia adalah orang tua kita satu-satunya yang masih ada setelah ibu meninggal. Kepadanya kita mesti berbakti sebaik-baiknya. Jangan pernah kalian menyakiti bapak dengan teguran yang menyakitkan” Nasehat Husein pada adik-adiknya.
Rusminah dan Ibrahim hanya bisa mengangguk dan tertunduk mendengar nasehat kakaknya yang tegas itu.
“Baiklah, kami serahkan semuanya kepada kakak. Rusminah pulang dulu. Assalamua’alaikum.”
Wa’alaikumussalam, jawab Husein dan Ibrahim bersamaan.
***
Senja menggelayut. Matahari menuruni balik gunung dan pepohonan. Rona jingga telah menghias langit. Burung-burung telah kembali ke sarang. Sore menyergap hari dan memaksa orang-orang untuk pulang dan beristirahat ke rumah masing-masing setelah seharian melakukan berbagai aktifitas. Kecuali orang tua itu, Pak Hasan masih setia duduk di depan pekuburan isterinya. Ia menatap kubur-kubur lain dengan sorot matanya yang telah sayu dimakan usia.
Husein yang baru saja pulang dari menjaga tokonya di pasar serentak menghentikan laju kendaraannya melihat sosok bapaknya yang masih di pekuburan sementara senja telah menjemput malam. Ia menepikan sepeda motor Crypton miliknya.
“Pak,” panggil Husein ke arah bapaknya “Bapak masih di sini, sudah dekat maghrib Pak. Itu suara tape mushalla sudah terdengar orang mengaji.”
“Oh....Husein,” Pak Hasan sedikit terkejut, “Iya Sein, bapak lupa, terlalu keasyikan duduk di sini.”
“Keasyikan?” heran hati Husein. “Duduk di pekuburan sepi seperti ini bapak bilang keasyikan”, gumam hatinya. “Ya sudah pak, kita pulang sekarang, Husein yang antar.”
“Ah, jangan ke rumah Sein, bapak ingin ke rumahmu saja. Bapak ingin ketemu Muhammad, cucu bapak.”
“Oh...Iya pak.” Jawab Husein.
Pak Hasan membonceng di sepeda motor anaknya itu. Memang, Pak Hasan tidak lagi tinggal serumah dengan anak-anaknya. Husein telah pindah ke kampung sebelah tempat isterinya semenjak ia menikah. Ibrahim sang adik, ikut dengannya karena memang di sana dekat dengan SMA tempatnya bersekolah. Sementara Rusminah, anak perempuannya memang masih sekampung tapi berlainan RT dengan bapaknya. Meski begitu, ia jarang mengunjungi bapaknya karena disibukkan mengurus anak-anaknya yang masih kecil sementara suaminya bekerja di luar kota.
Seraya berboncengan, Husein memperhatikan wajah bapaknya di kaca spion. Begitu tampak tua. Tapi akhir-akhir ini, ia melihat ayahnya itu, seringkali terlihat tersenyum, seperti saat ini.
“Bapak akhir-akhir ini tampak bahagia.” Kata Husein.
“Seperti itu ya” Sahut Pak Hasan “Bapak juga tidak tahu mengapa akhir-akhir ini hati bapak tenang dan senang sekali.”
Husein terdiam.
“Oya Sein...”
“Iya Pak.”
“Malam ini telpon Rusminah ya, suruh dia datang dan bermalam ke rumahmu.”
“Memangnya kenapa Pak?”
“Bapak rindu ingin kumpul keluarga seperti dulu-dulu.”
“ Iya Pak, itu kalau Rusminahnya bisa.”
“Diusahakan bisa begitu.” Paksa Pak Hasan.
“Baik Pak.”
***
Semua telah berkumpul diruang keluarga Husein. Wajah Pak Hasan terlihat begitu bahagia malam itu.
“Husein, Ibrahim, Rusminah, bapak bahagia malam ini kita bisa berkumpul seperti ini. Sudah lama rasanya semenjak kepergian ibumu” Suara tua pak Hasan memecah hening suasana di ruang tamu malam itu.
“Pak, boleh Ibrahim tanya?” seru Ibrahim.
“Iya Him, ada apa? Kau pasti mau menanyakan tentang sikap bapak akhir-akhir ini yang menurut orang kampung terlihat aneh?”
“Iya Pak,” sahut Rusminah, “Kami pun sebenarnya merasa aneh dengan sikap Bapak. Kenapa Bapak sering sekali ke kuburan ibu bahkan ada yang bilang bahwa Bapak  bisa senyum-senyum dan sesunggukam sendiri di sana. Sebenarnya ada apa Pak, apa yang bapak kerjakan di sana?”
“Hus Rus, jangan kau terpengaruh dengan omong orang-orang kampung itu!” Tegur Husein.
“Sudahlah Husein, apa yang dikatakan orang-orang kampung itu memang benar. Malam ini akan bapak katakan alasannya agar kalian bisa memetik hikmah dan semoga ini menjadi ilmu bagi kalian sebagai salah satu warisan dari bapak sebelum bapak pergi.”
“Bapak jangan berkata begitu,” Berair mata Rusminah mendengar kata-kata bapaknya ini.
“Anak-anakku semenjak ibu kalian meninggal dan satu persatu dari kalian meninggalkan bapak sendiri, bapak benar-benar merasa sepi. Bapak merasa kehilangan kebahagiaan yang pernah ada. Bapak merasa bahwa berumur panjang itu ternyata tak enak. Nafkah yang kalian berikan lebih dari cukup namun bapak merasa itu tak memberikan kebahagiaan. Bapak sangat ingin bersama kalian. Bapak ingin bersama cucu-cucu bapak.”
Anak-anak Pak Hasan merasa begitu sedih mendengar perkataan bapak mereka. Sadarlah mereka bahwa selama ini karena kesibukan mereka melupakan bapak mereka yang sesungguhnya memerlukan perhatian di hari-hari tuanya bukan sekedar nafkah perbulan yang diberikan. Kini mereka semuanya hanya tertunduk dan tak bisa menahan air mata.
“Sudahlah anak-anakku tak ada yang salah. Karena kesepian itulah bapak seminggu yang lalu menemukan hakikat hidup. Bapak sadar bahwa ternyata Allah telah menegur bapak dengan keadaan itu. Ketika bapak ke pekuburan ibumu, bapak sadar bahwa sesungguhnya inilah siklus kehidupan. Bapak terlahir ke dunia ini sendiri, dibesarkan kakek dan nenek kalian, ditemukan dengan ibu kalian sebagai jodoh, dianugerahi kalian sebagai anak-anak yang melengkapi kebahagian, terus dipisahkan satu persatu dengan orang yang dicintai, dan akhirnya akan berakhir sendiri pula. Di dalam kubur bapak akan sendiri, tanpa orang tua, teman, istri, anak, dan harta yang telah bapak cari. Di dalam kubur bapak tidak bisa berharap kepada apa yang telah bapak miliki di dunia. Semua akan bapak tingggalkan. Karena itu, tak sepantasnya bapak menyesali apa yang telah hilang dalam hidup bapak ini. Pada dasarnya semua akan kembali. Bapak pergi ke pekuburan untuk terus mempelajari hikmah ini. Hikmah bahwa hakikat hidup ini tak abadi. Apa yang bapak miliki adalah titipan dan amanah dari Allah dan akan bapak kembalikan pada Allah juga. Bapak tersenyum di sana karena bapak merasa beruntung mendapatkan hikmah ini sebelum bapak telah terbenam di tanah itu dan kadang bapak menangis karena bapak merasa  takut bapak belum memiliki amal yang cukup dan belum mendidik kalian dengan baik. Sekarang, pada malam ini, bapak berpesan. Sesibuk apapun kalian nanti, kunjungilah kubur bapak dan ibumu. Doakan kami agar kami benar-benar kembali dalam keadaan bersih sebagaimana kami awal diciptakan. Anak-anakku sungguh, pekuburan telah mengingatkan pada bapak bahwa Tuhan itu ada dan kita akan kembali kepada-Nya tanpa membawa apa yang kita miliki di dunia.”
“Bapak...” Rusdi, Rusminah, dan Ibrahim memeluk Pak Hasan.
“Maafkan Rus, Ka Rusdi, dan Dik Ibrahim Pak....kami minta maaf.”
“Sudahlah Nak...bapak telah ikhlas terhadap kalian. Malam ini bapak minta Rusminah menginap di sini saja. Biar nanti pagi bisa sama-sama mengantar bapak pulang ke kampung besok pagi.”
Suasana ruangan begitu haru. Malam itu, Rusdi, Rusminah, dan Ibrahim merasa bahwa hati mereka begitu terisi oleh kata-kata bapak mereka.
***
            Keesokan paginya.
“Tak biasanya bapak belum bangun setelah azan shubuh. Ibrahim tolong bangunkan bapak! Beliau di tunggu untuk imam. Kita berjamaah di rumah saja.” Suruh Husein.
“Mungkin beliau kecapekan Ka setelah tadi malam” sahut Rusminah.
Tiba-tiba Ibrahim kembali sambil menangis.
“Ka....bapak, bapak Ka....”
“Ada apa Him....kenapa Bapak?”
“Bapak Ka....” Sambil menarik tangan Husein dan menggiring menuju kamar.
Husein melihat bapaknya yang terbaring memakai sarung dan kopiah. Di wajah yang telah pucat itu terlihat seberkas senyum. Senyum yang tampak selayak seorang anak yang menemukan apa yang ia cari. Tulus.
“Innalillahi wa inna ilaihi Ra’jiun. Bapak benar-benar telah pulang ke kampung beliau yang sesungguhnya. Kampung yang abadi dan kekal. Kampung akhirat. Beliau telah menyuruh kita untuk mengantar dan mendoakan beliau.”
Pagi itu, hati keluarga pak Hasan di liputi kabut kesedihan.

2 comments:

  1. cuit cuit...akhirnya aku bisa menikmati cerpen si iyan lagi...hohoho setelah lama dulu kita berkolaborasi beulah buletin...aku ingin mengajakmu bagaimana klo kita bikin buku sobat...ak pnya kenalan percetakan..hihihi

    ReplyDelete