Rahasia Jodoh Part 2
Sampai suatu hari….
Kuliah Imla telah dimulai, tapi kulihat Faisal dan Laila tak tampak mukanya di lokal. Padahal biasanya Laila paling awal di kelas dan duduk di bangku depan. Sampai tiba-tiba Ridho dan Rizal, anggota HMJ PBA, masuk ke lokal dengan membawa sebuah kardus.
“Innalillahi wa innailaihi raji’un “kata Rizal” pagi tadi telah meninggal salah seorang ayah dari mahasiswi kita, Laila, maka dari itu kami mohon sumbangan sukarela dari kalian semua.”
Kabar ini begitu memilukan hatiku. Aku seakan merasakan bagaimana sedihnya perasaan Laila. Teman-teman di kelas pun terkejut.
Selepas kuliah, kami selokal dan beberapa anggota LDK bersama-sama bertakziah ke rumah Laila. Seakan tak sanggup aku melihat wajah Laila yang begitu sedih, hatiku bak menanggung sakit dari hujaman air mata yang menetes dan membasahi pipinya. Kami semua hanya bisa mengucapkan berbela sungkawa.
###
Semenjak saat itu, Laila tampak murung di kelas. Hingga suatu hari, Faisal datang ke kosku.
“Man, ini ada surat dari Laila.” Dia menyerahkan surat ini untukmu.
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan nama Allah yang telah menciptakan cinta dan menjadikannya sebagai anugerah bagi setiap hamba-Nya. Akhi Rahman,…maaf jika surat ini bagi antum tidak sepantasnya ditulis seorang akhwat kepada ikhwan. Ana telah mengetahui bahwa antum mencintai ana dari akhi Faisal, sepupu ana. Jujur, hati ana begitu senang waktu itu. Ana juga mencintai antum namun cinta ini ana simpan sampai kiranya Allah mempertemukan kita dengan cara yang halal.
Dan tatkala takdir Allah berjalan. Ayah ana meninggal. Beliau adalah tulang punggung keluarga yang menghidupi ibu, ana, dan dua adik perempuan ana. Setelah beliau tiada, maka ibu ana pun merasa tak sanggup lagi menanggung biaya pendidikan kami semua.
Tadi malam, Allah mengirimkan seorang laki-laki yang melamar ana. Dia seorang dosen. Dia akan menyanggupi untuk menguliahkan ana sampai selesai bahkan menjanjikan ana sampai S2 setelah kami menikah. Sulit bagi ana untuk menolak dengan keadaan seperti ini, kecuali jika antum bersedia menikahi ana. Ana baru akan memberikan jawaban atas lamaran itu besok malam. Semoga antum juga memberikan jawaban atas surat ini.
Nur Laila
Surat Laila ini seakan petir yang menyambar tepat di ulu hatiku. Sakit. Air mata tak sanggup kutahan. Aku menangis, tak peduli meski Faisal ada di depanku. Kuberanikan untuk membalas surat saat itu juga.
Bismillahirrahmanirrahim
Kepada ukhti Laila, semoga Allah mencintaimu lebih dari cintaku padamu dan cintamu padaku. Bahagia ana mendengar kabar dari ukhti. Meski ana memcintai ukhti namun ana merasa bahwa ana belum sanggup untuk menjadi imam bagi ukhti. Ukhti tahu keadaan ana dan keluaga ana yang tak lebih baik dari keluarga ukhti. Ana takut tak bisa membahagiakan ukhti sebagaimana janji lelaki yang melamar ukhti.
Terimalah dia ukhti, ana akan berusaha ikhlas. Mungkin kita bukan jodoh. Ana berdoa semoga ukhti bahagia dengannya dan doakan ana semoga ikhlas melepas uhkti.
Abdurrahman
Kuserahkan surat itu pada Faisal.
“Serius kau Man. Kau membohongi hatimu dengan surat ini.”
“Habis bagaimana lagi Sal, kau tahu kita masih semester tujuh. Masih satu atau dua semester lagi baru lulus. Aku tahu keadaanku. Bagaimana mungkin untuk menikah saat ini. Membiaya hidupku sendiri pun susah. Apalagi berdua.”
“Tapikan, rezeki itu milik Allah Man. Setelah menikah pintu-pintu rezeki akan terbuka.”
“ Iya Sal, tapi aku tetap merasa tak sanggup. Sudahlah, antarkan saja surat itu pada Laila.” Airmata tak sanggup kutahan. “Laila, aku telah mencintaimu dalam rasa senang dan sedih yang tertahan sekian tahun, namun orang lain yang memilikimu,” isak hatiku.
###
Laila telah menikah. Namun kenapa bunga-bunga cintaku bagi Laila belum juga layu. Cinta ini bagaikan api dalam sekam, yang membakar hatiku diam-diam. Kian hari hati ini kian melepuh, sakit dan bertambah ketika melihat Laila.
###
Waktu berlalu dan aku telah mendapatkan gelar sarjanaku. Alhamdulillah lagi, aku mendapatkan beasiswa full melanjutkan S2 di salah satu universitas di Arab Saudi. Bertahun-tahun aku belajar di sana hingga menjadi Doktor bidang Bahasa Arab. Sekarang aku telah kembali dan tinggal di Banjarmasin. Menjadi dosen Bahasa Arab di IAIN. Kembali ke kandang sendiri. Suatu hari ibuku berkunjung ke rumahku.
“Man, kau kan sudah 27 tahun, punya pekerjaan tetap. Cukuplah buatmu untuk menikah.
“Ah…ibu, kan Rahman baru 1 tahun di sini, belum dapat wanita yang cocok.” Jawabku pada ibu.
“Memangnya tidak ada wanita teman kuliahmu dulu yang kau sukai. Tadi ibu ketemu Faisal di pasar. Terus tanya-tanya apa Faisal punya teman yang cocok untuk kamu. Katanya sih ada, kalau kamu masih suka.”
“Siapa Bu?” tanyaku penasaran.
“Tidak tahu juga, Faisal tidak menyebutkan namanya. Katanya kalau kau mau tahu datang sendiri ke tokonya. Besok kan hari Sabtu, kau libur mengajar. Datanglah ke tempatnya. Rasanya kau sudah jarang bersilaturrahmi dengan dia semenjak datang dari Saudi.”
“Iya bu…Insya Allah besok Rahman ke sana.”
Kesokan paginya, sekitar pukul 10.00. Aku pergi ke pasar Sudimampir dan singgah di toko kain Faisal.
“Hai Man, lama sekali sahabatku ini tak datang kemari. Sibuk menjadi dosen dan mengisi seminar rupanya bapak dosen ini.” Kelakar Faisal.
“Ah, kau Sal, bisa saja. Kau sendiri sudah sukses dengan toko kainmu ini.”
“Kau datang ke sini pasti mau menanyakan tentang Laila yang kuceritakan kepada ibu.”
“Hah,” kejutku “Laila, apa maksudmu?”
“Kemarin kan ibumu kesini dan bertanya tentang wanita yang mungkin cocok denganmu. Ya..kujawab saja bahwa kau pernah mencintai wanita waktu kuliah. Kuceritakan kisahmu dengan Laila. Jadi, kuusulkan saja kau dengan Laila yang sekarang telah menjadi janda. Memang aku tak menyebutkan namanya.”
“Apa Sal? Laila janda. Bagaimana ceritanya? Tanyaku heran.
“Begini Man, tak lama setelah kamu pergi, Laila hamil. Nah…pas mau melahirkan, ketika suaminya mengantar ke rumah sakit mobilnya mengalami tabrakan. Naasnya suami dan bayi dalam kandungannya meninggal dan Alhamdulillah Allah menyelamatkan Laila. Sejak itu Laila sendiri. Kemudian, dia melanjutkan S3 ke UIN Jakarta. Dan sekarang menjadi dosen Bahasa Arab juga di salah satu perguruan tinggi swasta di Palangkaraya. Kau masih mencintainya dan mau menikah dengannya?”
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…kenapa kau tak cerita semanjak aku datang Sal. Cintaku pada Laila tak pernah padam. Mesti terpisah jarak dan waktu.”
“Kau kan tak tanya. Kukira kau tak cinta lagi padanya. Kalau begitu kau lamar saja dia segera. Katanya dia baru saja kemarin pulang ke rumahnya di Barabai. Besok dia ada seminar di sana.”
Pasti Sal, Insya Allah hari ini juga kau temani aku bersama ibuku untuk melamarnya. Cepat siap-siap, suruhlah anak buahmu untuk menunggu tokomu. Aku tak mau cintaku didahului orang lain lagi.
“Wah, wah, wah, Rahman, katanya dulu jodoh itu urusan Allah. Tak sepantasnya takut terhadap takdir yang akan terjadi pada diri kita.” Kata Faisal mengingatkanku pada kenangan lama.
“Ah ini sudah lain cerita Sal, cepatlah. Naiklah ke mobilku.” Seruku. “Duhai Rabb..inikah caramu menjagakan Laila untukku setelah kau sampaikan aku pada cita-citaku. Terima kasih ya Allah. Laila, meski engkau telah menjadi janda namun ketahuilah bahwa cintaku padamu masih tetap perawan.” Gumam hatiku.
No comments:
Post a Comment