Selamat Datang Di Blog Iyan Al-Balangi.Terima kasih telah berkunjung.

Label

Sunday, January 22, 2012

My Trial and Error Experience


Tragedy Salah Studio
Sebuah Cerita yang Menegangkan

Sabtu, 21 Januari kemarin benar-benar sepi. Teman-teman pulang kampung. Mo ke kampus gak tahu mo ngapain. Mo ke perpus buku-buku di kos pun masih banyak yang nganggur. Mo jalan-jalan gak tahu mo ke mana. Akhirnya, diputuskan mo nonton film saja.

Seseru apapun film kalau nontonnya sendiri sense of excitingnya juga gak berasa. So, diputuskan hari ini saya mo ke bioskop. Ceiih, keren nih.

Mandi, masak, siap-siap. Buka website 21 buat lihat review film yang kira-kira menarik buat ditonton. Pilihan jatuh ke Mission Impossible: Ghost Protocol. Memang sih, telat kalo mo nonton itu. Pasalnya bajakannya dah beredar di mana-mana. Beli Rp 5.000 bisa hemat Rp 30.000 banding nonton di bioskop. Atau, tinggal buka website download film gratisan. Let’s your laptop to download all of night and tomorrow you can watch it freely. Tapi, untuk kali ini let these eyes to see a big screen and sound in the cinema just for killing the time.

Sebenarnya gak seru juga sih nonton sendirian. Tapi malas juga ajakin teman. Masalahnya gak papa sih, yang namanya ngajakin pasti mereka kira traktir. So, berhubung menurut perkiraan cuaca hari ini tidak akan ada hujan duit, pergi sendiri saja biar hemat. Hee.

Banjarmasin cuma punya satu bioskop. Letaknya di Duta Mall. Ngomong-ngomong soal bioskop sebenarnya saya juga bukan jenis orang yang hobi pergi ke sana. Seumur-umur baru dua kali pergi ke bioskop dan itu juga sama kawan-kawan. Berombongan men, kaya mo ke  hajatan. Jadinya, targedi ini pun terjadi.


Soal cara mendapatkan tiket saya paham. Tinggal ngantri trus bilang sama mbak-mbaknya mo nonton apa, jam berapa, and duduk di mana. (Ini baru saya pelajari tahun kemarin hasil observasi). Dapat deh tiketnya, jam 13.00 di bangku E5.

Satu hal yang saya pahami, bahwa di 21 Banjarmasin ini cuma ada satu studio. Kesimpulan ini saya dapatkan dari hasil penelitian lapangan setelah dua kali menonton di sini, studionya itu-itu saja. Hasilnya, untuk kali ini pun saya nunggunya, ya, di depan studio itu juga.

Pukul 12.45 ternyata studionya di buka kembali. Dan ternyata pas masuk, film udah mau mulai. Wualah…opo jamnya salah ya di tiket ini. Dan ternyata tidak sodara-sodara. Setelah sekian menit film berjalan saya sadar bahwa ini bukan film yang mau saya tonton. Ini judulnya, "5 Days of War" bukan "Mission Impossible". Saya salah masuk. Haa

Akhirnya, ya sudahlah nikmati saja. Mau keluar ato nanya-nanya juga malu. Nanti ketahuan GapBos (Gagap Bioskop adik sepupunya Gagap Teknologi). Lagian, mbak-mbak tukang tiketnya tidak memeriksa dulu dengan teliti sih. Lima menit berlalu, kayanya gak seru-seru banget. Namun menit berikutnya, ternyata menegangkan and seru abis.

Kisah filmnya tentang wartawan Amerika, juru kamera, dan seorang wanita lokal yang meliput perang dan terjebak di daerah musuh. Yang namanya perang, otomatis lah suara rentetan senjata dan bom sangat dominan sekali.

In my point of view, film ini mengisahkan betapa sadisnya perang. Perang hanya menghasilkan kesengsaraan dan kerusakan seperti yang dialami rakyat Georgia. Penindasan, pembunuhan, kebiadaban adalah pemandangan yang disajikan di medan perang. Sulit untuk menemukan rasa kemanusiaan. Saat kita melihat perang kita melihat betapa kejamnya kadang manusia terhadap lainnya. Bahkan melebihi binatang. Perang, jangan sampai ini terjadi. Yang menang hanya akan menjadi arang dan yang kalah hanya akan menjadi abu sementara ribuan jiwa tertindas dan melayang tanpa ada belas kasihan. Di mana sisi kemanusiaan saat amarah menjadi acuan.

Film ini juga menyampaikan pesan tentang betapa gigihnya para wartawan perang buat menyampaikan bukti-bukti kejahatan perang. Meliput di wilayah konflik ibarat menaruh nyawa di ujung tanduk, sangat rapuh untuk terjatuh. Mati adalah sebuah bayangan terdekat bagi para wartawan tersebut. While watching this movie, I’m proud for every one who survives to convey a message of right.
In a nutshell , gak rugi sih tragedy salah studio kali ini.

Pas keluar studio langsung saya melakukan observasi, ternyata harusnya saya masuk di studio 8 bukan studio 6. Saya baru tahu angka 8 di karcis itu memiliki arti “Film ini diputarnya di Studio 8, Bung.” Dan di 21 Banjarmasin studionya ternyata bukan cuma satu. Kesimpulan akhir, hasil penelitian lapangan awal saya ternyata salah.

Ps: Malu bertanya sesat di bioskop

No comments:

Post a Comment