Mahasiswa
Tamu Kelas Empat
Tulisan ini hadir sama sekali tidak
diikuti maksud untuk mencela pelayananan di “rumah” sendiri. Namun ini hanyalah
sekadar catatan kecil yang tergores karena tuntunan kata hati untuk mengkritik
agar pelayanan yang diberikan menjadi lebih baik ke depannya.
Pada Senin 30 April 2012, saya
berangkat dari rumah kira-kira pada jam 09.00 pagi menuju Paringin, ibu kota
Kabupaten Balangan. Jarak antara Paringin dan desaku kira-kira 30 menit dengan
menggunakan sepeda motor. Jalan desa dikampungku tidak memungkinkan untuk
memacu kendaraan lebih cepat dikarenakan banyaknya lubang dan ruas jalan yang
memang begitu sempit. Apalagi baru-baru ini ada perbaikan jembatan. Jembatan
darurat yang dibangun “benar-benar bagus”. Sebagian sopir angkutan tak berani
lagi mengangkut penumpang dan barang dikarenakan mereka takut jempatan yang
begitu sempit itu runtuh. Sehingga jalan pada pagi senin yang biasanya ramai
itu pun tampak sepi dari mobil-mobil pick-up.
Sesampainya di tempat tujuan aku
mengecek dulu barang-barang yang kubawa dalam sebuah tas ransel warna hitam.
Ada dua buah proposal dan beberapa pulpen. Pertama sempat kutelpon sebuah nomor
yang diberikan temanku. Namun sayang, nomor tersebut tidak aktif. Jadinya,
kuayunkan saja langkahku mendekati gedung yang berada tepat disampingku. Ini
bukan kali pertama aku datang ke tempat itu. Aku telah beberapa kali mengantar
proposal untuk beberapa kegiatan organisasi. Namun ini adalah kali pertama aku
harus bertemu dengan orang nomor satu digedung tersebut.
Langkah pertama, aku bertanya pada
satpam, sekadar basa-basi, tentang apakah bapak bupati ada dan bisa ditemui.
Mereka bilang ya dan akupun dipersilakan untuk naik ke atas. Aku melihat-lihat
papan nama dan mendapati ruangan bupati. Aku pun masuk dan menghadap para
ajudan. Mereka mempersilakanku untuk mengisi daftar tunggu dan menunggu diluar
bersama para tamu lainnya yang telah datang terlebih dahulu.
Di ruangan tunggu telah berjejer
sekitar sembilan orang. Ada camat Tebing Tinggi berserta staff dan seorang
tokoh adat, ada seorang yang saya rasa dari pemda Balangan sendiri, dan
seseorang di sampingku yang mengenakan baju koko. Kalau dihitung ada sembilan
orang. Sesuai dengan jumlah di daftar tunggu. Satu persatu tamu tersebut masuk.
Hingga tiba akhirnya giliran bapak-bapak yang ada disampingku. Namun anehnya,
giliran bapak tersebut malah dilanggar oleh beberapa orang. Padahal mereka baru
saja datang. Kami hanya bisa menyayangkan karena tidak adanya budaya antrian.
Setelah bapak disampingku tersebut
dipanggil dan keluar dari ruangan bupati. Aku pun bersiap-siap. Namun sayang,
ajudan yang keluar tidak menyebutkan namaku. Ia malah memanggil beberapa kepala
dinas yang baru saja datang. Setelah kepala dinas itu keluar, lagi-lagi yang
dipanggil adalah seorang dengan baju perusahaan, yang baru saja duduk,
dipersilakan masuk. Kali ini aku merasa jengah, aku pun protes pada beberapa
ajudan yang menunggu didalam. Mereka bilang sabar karena memang banyak tamu Pak
Buapati. Aku pun harus menunggu lagi sekitar 30 menit. Diluar aku hanya membaca
buku atau sekadar mengobrol dengan bapak-bapak yang juga baru saja datang.
Beliau bilang bahwa beliau adalah teman pak Bupati dan sekadar ingin
bersilaturrahmi.
Kejengahankku bertambah ketika
giliranku dilanggar kembali oleh bapak yang mengobrol denganku tadi beserta dua
orang lainnya. Aku benar-benar merasa kecewa dengan cara menjamu tamu di kantor
tersebut. Aku sudah menunggu sejak pukul 09.30 hingga pukul 12.00 siang.
Semenjak bersama orang banyak hingga tinggal sendirian. Jika bukan karena ingin
menjalankan amanah kawan-kawan diorganisasi untuk mengonsultasikan sebuah
seminar nasional maka aku sudah pasti akan pulang. Saya berpikir buat apa
menulis di daftar tunggu jika itu hanya sebagai formalitas.
Gerutuan hatiku tersebut terhenti saat dua
orang yang masuk terakhir tadi keluar. Aku pun kembali merapikan kemeja dan
menutup proposal acara. Ajudan mendekatiku. Sayangnya, ia bukannya memanggilku
malah memberitahukan bahwa bupati telah terlambat untuk datang ke suatu acara.
Sehingga beliau tidak bisa ditemui. Saya disarankan untuk bertemu dengan wakil
bupati saja. Geram. Jadi, aku menunggu dua jam setengah cuma untuk disuruh
duduk saja. Kalau memang disuruh bertemu wakil bupati mengapa tidak sedari awal
saja. Harusnya mereka menghitung jumlah tamu dan alokasi waktu yang diperlukan
hingga beliau ke acara tersebut. Harusnya pula saya sempat bertemu beliau jika
tamu dipersilakan masuk sesuai daftar tamu. Kecewa. Itulah kata yang mewakili
perasaan saya waktu itu. Tidak ada budaya antri di rumah kabupaten sendiri.
Tamu masuk berdasarkan “baju lembaga/institusi” yang mereka pakai. Tamu kelas
satu adalah para kepala dinas, tamu kelas dua adalah pihak perusahaan (atau
malah ini yang kelas satu), tamu kelas tiga adalah warga “penting”, dan
terakhir adalah masyarakat biasa dan mahasiswa. Sepertinya inilah list tamu
yang sebenarnya.
Terakhir, meski ini tidak penting,
tapi ibarat kita bertamu ke rumah orang, selama dua jam setengah, bagaimana
rasanya jika kita tak mendapatkan suguhan apa pun walau segelas air putih? Namun saya hanya berbaik sangka mungkin kantor
kabupaten mengira orang-orang tengah berpuasa sunnah. Subhanallah.
memang mesti banyak yang harus diperbaiki dari sistem perkantoran negeri ini.. :)
ReplyDeletetapi tiap daerah sepertinya cukup berbeda, ya tergantung budaya dari daerah tersebut... :)
berarti untuk menjadi istimewa harus menjadi tamu kelas satu donk :)
ReplyDelete@Kakve: Yups...perbaikan memang harus slalu dilakukan untuk menjadikan negara ini lebih baik
ReplyDelete@Yobbis: Bener Bgt...Tp klo nanti giliran kita orang nomor satu dimana pun itu, semoga tidak meniru contoh diatas...hee