Selamat Datang Di Blog Iyan Al-Balangi.Terima kasih telah berkunjung.

Label

Friday, May 25, 2012

Untuk Daerahku


Mahasiswa Tamu Kelas Empat

Tulisan ini hadir sama sekali tidak diikuti maksud untuk mencela pelayananan di “rumah” sendiri. Namun ini hanyalah sekadar catatan kecil yang tergores karena tuntunan kata hati untuk mengkritik agar pelayanan yang diberikan menjadi lebih baik ke depannya.

Pada Senin 30 April 2012, saya berangkat dari rumah kira-kira pada jam 09.00 pagi menuju Paringin, ibu kota Kabupaten Balangan. Jarak antara Paringin dan desaku kira-kira 30 menit dengan menggunakan sepeda motor. Jalan desa dikampungku tidak memungkinkan untuk memacu kendaraan lebih cepat dikarenakan banyaknya lubang dan ruas jalan yang memang begitu sempit. Apalagi baru-baru ini ada perbaikan jembatan. Jembatan darurat yang dibangun “benar-benar bagus”. Sebagian sopir angkutan tak berani lagi mengangkut penumpang dan barang dikarenakan mereka takut jempatan yang begitu sempit itu runtuh. Sehingga jalan pada pagi senin yang biasanya ramai itu pun tampak sepi dari mobil-mobil pick-up.

Sesampainya di tempat tujuan aku mengecek dulu barang-barang yang kubawa dalam sebuah tas ransel warna hitam. Ada dua buah proposal dan beberapa pulpen. Pertama sempat kutelpon sebuah nomor yang diberikan temanku. Namun sayang, nomor tersebut tidak aktif. Jadinya, kuayunkan saja langkahku mendekati gedung yang berada tepat disampingku. Ini bukan kali pertama aku datang ke tempat itu. Aku telah beberapa kali mengantar proposal untuk beberapa kegiatan organisasi. Namun ini adalah kali pertama aku harus bertemu dengan orang nomor satu digedung tersebut.

Langkah pertama, aku bertanya pada satpam, sekadar basa-basi, tentang apakah bapak bupati ada dan bisa ditemui. Mereka bilang ya dan akupun dipersilakan untuk naik ke atas. Aku melihat-lihat papan nama dan mendapati ruangan bupati. Aku pun masuk dan menghadap para ajudan. Mereka mempersilakanku untuk mengisi daftar tunggu dan menunggu diluar bersama para tamu lainnya yang telah datang terlebih dahulu.

Di ruangan tunggu telah berjejer sekitar sembilan orang. Ada camat Tebing Tinggi berserta staff dan seorang tokoh adat, ada seorang yang saya rasa dari pemda Balangan sendiri, dan seseorang di sampingku yang mengenakan baju koko. Kalau dihitung ada sembilan orang. Sesuai dengan jumlah di daftar tunggu. Satu persatu tamu tersebut masuk. Hingga tiba akhirnya giliran bapak-bapak yang ada disampingku. Namun anehnya, giliran bapak tersebut malah dilanggar oleh beberapa orang. Padahal mereka baru saja datang. Kami hanya bisa menyayangkan karena tidak adanya budaya antrian.


Setelah bapak disampingku tersebut dipanggil dan keluar dari ruangan bupati. Aku pun bersiap-siap. Namun sayang, ajudan yang keluar tidak menyebutkan namaku. Ia malah memanggil beberapa kepala dinas yang baru saja datang. Setelah kepala dinas itu keluar, lagi-lagi yang dipanggil adalah seorang dengan baju perusahaan, yang baru saja duduk, dipersilakan masuk. Kali ini aku merasa jengah, aku pun protes pada beberapa ajudan yang menunggu didalam. Mereka bilang sabar karena memang banyak tamu Pak Buapati. Aku pun harus menunggu lagi sekitar 30 menit. Diluar aku hanya membaca buku atau sekadar mengobrol dengan bapak-bapak yang juga baru saja datang. Beliau bilang bahwa beliau adalah teman pak Bupati dan sekadar ingin bersilaturrahmi.
Kejengahankku bertambah ketika giliranku dilanggar kembali oleh bapak yang mengobrol denganku tadi beserta dua orang lainnya. Aku benar-benar merasa kecewa dengan cara menjamu tamu di kantor tersebut. Aku sudah menunggu sejak pukul 09.30 hingga pukul 12.00 siang. Semenjak bersama orang banyak hingga tinggal sendirian. Jika bukan karena ingin menjalankan amanah kawan-kawan diorganisasi untuk mengonsultasikan sebuah seminar nasional maka aku sudah pasti akan pulang. Saya berpikir buat apa menulis di daftar tunggu jika itu hanya sebagai formalitas.

 Gerutuan hatiku tersebut terhenti saat dua orang yang masuk terakhir tadi keluar. Aku pun kembali merapikan kemeja dan menutup proposal acara. Ajudan mendekatiku. Sayangnya, ia bukannya memanggilku malah memberitahukan bahwa bupati telah terlambat untuk datang ke suatu acara. Sehingga beliau tidak bisa ditemui. Saya disarankan untuk bertemu dengan wakil bupati saja. Geram. Jadi, aku menunggu dua jam setengah cuma untuk disuruh duduk saja. Kalau memang disuruh bertemu wakil bupati mengapa tidak sedari awal saja. Harusnya mereka menghitung jumlah tamu dan alokasi waktu yang diperlukan hingga beliau ke acara tersebut. Harusnya pula saya sempat bertemu beliau jika tamu dipersilakan masuk sesuai daftar tamu. Kecewa. Itulah kata yang mewakili perasaan saya waktu itu. Tidak ada budaya antri di rumah kabupaten sendiri. Tamu masuk berdasarkan “baju lembaga/institusi” yang mereka pakai. Tamu kelas satu adalah para kepala dinas, tamu kelas dua adalah pihak perusahaan (atau malah ini yang kelas satu), tamu kelas tiga adalah warga “penting”, dan terakhir adalah masyarakat biasa dan mahasiswa. Sepertinya inilah list tamu yang sebenarnya.

Terakhir, meski ini tidak penting, tapi ibarat kita bertamu ke rumah orang, selama dua jam setengah, bagaimana rasanya jika kita tak mendapatkan suguhan apa pun walau segelas air putih?  Namun saya hanya berbaik sangka mungkin kantor kabupaten mengira orang-orang tengah berpuasa sunnah. Subhanallah.

3 comments:

  1. memang mesti banyak yang harus diperbaiki dari sistem perkantoran negeri ini.. :)

    tapi tiap daerah sepertinya cukup berbeda, ya tergantung budaya dari daerah tersebut... :)

    ReplyDelete
  2. berarti untuk menjadi istimewa harus menjadi tamu kelas satu donk :)

    ReplyDelete
  3. @Kakve: Yups...perbaikan memang harus slalu dilakukan untuk menjadikan negara ini lebih baik

    @Yobbis: Bener Bgt...Tp klo nanti giliran kita orang nomor satu dimana pun itu, semoga tidak meniru contoh diatas...hee

    ReplyDelete